Yuk Bercerita! Punya Uneg-Uneg

Discussion in 'Tales' started by ais elkiram, Feb 18, 2017.

  1. ais elkiram

    ais elkiram Well-Known Member

    Joined:
    Feb 10, 2015
    Messages:
    1,296
    Likes Received:
    220
    Trophy Points:
    63
    Orang bilang pernyataan yang keluar dari dalam hati itu namanya uneg-uneg. Ya perasaan yang tulus keluar dari hati, bukan sebuah pernyataan yang sengaja dibuat-buat untuk sekedar melakukan sharing kalimat. Banyak yang menganggap bahwa perasaan yang ada dalam hati kita jika memang sudah menggunung akan menjadi beban tersendiri, ada baiknya di sampaikan saja kepada yang bersangkutan atau tentang apa itu.

    Jujur saja, saya juga punya uneg-uneg yang ada dalam hati saya. Tapi bukan soal tentang saya saja, namun juga orang-orang yang ada di sekitar saya. Orang-orang yang setiap saya melihat dan membayangkan nya ada sesuatu yang membuat saya merasakan sesuatu yang susah di ungkapkan.

    Sekali lagi saya ungkapkan tentang kehidupan saya sejak awal hingga sekarang. Saya terlahir bukan dari kalangan terpelajar, bukan juga kalangan orang yang memiliki pendidikan tinggi. Bukan! Ayah saya, kakek saya, ibu saya hanyalah keluarga desa yang jauh dari pusat kota dan pusat pemerintahan.

    Kakek saya sendiri adalah generasi yang hidup di jaman perjuangan, almarhum pernah bercerita tentang bagaimana masa kecil beliau sebagai tukang cuci pakaian para laskar pejuang dan geriliyawan. Para pejuang dulu jarang masuk ke dalam kota atau kampung hanya sesekali saja jika memang ada yang dibutuhkan, jika kebutuhan hidup yang ada sudah mulai menipis atau saat ada rasa kangen terhadap sanak family maka barulah mereka kembali ke kampung/desa atau tempat tinggal mereka.

    Saat kembalinya para geriliyawan itulah para orang kampung, ibu-ibu, hingga anak-anak memiliki peran nya masing-masing. Kakek saya juga, jika para laskar pejuang kembali ke kampung halaman maka beliau sudah menjadi kebiasaan bertugas mencuci pakaian para laskar yang kotor, entah berapa bulan tak di cuci.

    Kehidupan beliau yang dihabiskan dalam nuansa penjajahan dan perang perjuangan kemerdekaan tentu membuat kondisi yang harus dimaklumi, jauh dengan pendidikan atau usaha yang layak. Oh iya kakek saya berasal dari daerah hulu sungai, sekarang masuk daerah Kalimantan Selatan. Sebuah daerah yang katanya tidak pernah sunyi dengan namanya perlawanan terhadap penjajah.

    Dalam catatan sejarah menyebutkan bahwa Indonesia telah dijajah oleh para penjajah sekitar 3,5 abad lamanya. Namun sebenarnya tidak semua daerah berhasil mereka duduki sepenuhnya. Di kalimantan sendiri, kekuasaan hindia belanda hanya bisa menempati daerah pusat pemerintah yang dalam hal ini seperti ; Kota BanjarMasin, dan kota-kota besar lainnya. Sementara daerah pelosok perang berkepanjangan sering terjadi, dimana rakyat tertindas terus melakukan perlawanan dari generasi ke generasi.

    Kalimantan secara khusus mencatat ada daerah yang susah untuk ditaklukkan hindia belanda. Daerah ini berada di daerah-daerah pedalaman dan tergolong masuk pelosok perkampungan. Kota kandangan sekarang adalah salah satu saksi dimana sejak jaman kerajaan banjar dan perang banjar meletus hingga era perjuangan pasca sebelum kemerdekaan selalu menjadi medan perang. Tidak sedikit perang yang terjadi, karena itu wajar ada banyak darah pejuang yang sama sekali tidak tercatat dalam sejarah Nasional.

    Entahlah! Mungkin karena alasan nya ini bukan perjuangan buat negara namun lebih kepada perjuangan mempertahankan kampung halaman. Tidak ada pergerakan politik yang bersifat kenegaraan, semuanya hanya soal perjuangan rakyat yang tertindas dan di tindas.

    Salah satu perang setelah runtuhnya kerajaan banjar selain perang banjar ada satu perang yang tidak tercatat secara Nasional, perang “AMUK HANTARUKUNG” terjadi sekitar tahun 1800-1900an. Terjadi sebelum kemerdekaan, tokoh yang terkenal dalam perang amuk hantarukung ada; Bukhari, Haji matamin, dan Landuk. Ketiga tokoh tersebut melagenda, dengan makam ketiganya dalam satu liang lahat. Kubur Tumpang Talu ( Kubur Rangkap Tiga ) karena di dalamnya lah ketiga pahlawan lokal tersebut di kubur secara hidup-hidup oleh belanda.

    Generasi selanjutnya yang terkenal ada Pahlawan Nasional Brigadir Jenderal Hasan Basry, dan juga pahlawan lokal yang kemudian dianggap pemberuntak oleh pemerintah pusat Jakarta “Ibnu Hajar”. Ibnu hajar adalah sosok menarik, bagi masyarakat lokal kalimantan khususnya tanah banjar di anggap sebagai pahlawan kemerdekaan namun di anggap oleh pemerintah pusat sebagai gerombolan pemberuntak karena menolak beberapa kebijakan pemerintah pusat.

    Salah satu tuntutan ibnu hajar yang tidak bisa di penuhi oleh pemerintah pusat adalah dimasukkan nya seluruh pasukan yang berjuang memerdekaan dan mengusir penjajah sebagai pahlawan perang dan kesatuan tentara Indonesia. Namun kebanyakan dari mereka buta huruf. Perbedaan ibnu hajar semakin meruncing tatkala justru dari kalangan tentara NICA yang sebelum kemerdekaan yang sejak awal adalah musuh rakyat justru di angkat sebagai kesatuan tentara Indonesia. Beliau tidak bisa terima dan itulah awal perseteruan beliau dengan pemerintah pusat yang mengantarkan beliau di cap sebagai gerombolan pemberuntak.

    Fenomena buta huruf sebenarnya bisa kita maklumi, karena daerah hulu sungai sendiri adalah daerah yang selalu di warnai dengan nuansa perang dan perjuangan sepanjang jaman. Kakek saya sendiri masuk dalam fenomena tersebut, generasi buta huruf.

    Generasi selanjutnya setelah kakek saya yang buta huruf ada ayah saya yang hanya sempat Sekolah Rakyat setara Sekolah Dasar jika jaman sekarang. Sebagai rakyat jelata dan keluarga pedesaan yang sejak awal jauh dari nuansa pendidikan mengantar kami sebagai keluarga kelas menengah bawah. Ayah saya jaman muda beserta kakek hanya sebagai tukang geregaji kayu, bandsaw istilah kami dilakukan secara manual.

    Sementara saya di besarkan oleh keluarga bawahan, ayah pada saat saya kecil hanya seorang abang becak. Wajarlah!! Di jaman modern tanpa pendidikan dan ijazah artinya hidup harus mandiri tanpa pekerjaan tetap. Secara formal saya hanya pernah sekolah sampai sekolah dasar, sisanya saya adalah alumnus pesantren. Selesai sekolah dasar walau ditawari beasiswa jaman soeharto entah kenapa saya memilih menulak justru sekolah pesantren moderat yang hanya ada pendidikan agama tanpa adanya pendidikan umum mengikuti jejak abang saya. Mungkin itu sebuah pilihan!!!.

    Dan sekarang! Entah jalan apa yang mengantarkan saya sibuk dalam banyak aktifitas dan usaha mandiri, pernah jualan di sekolah-sekolah, jualan di pasar, aktif ngeblog, dll. Secara hitung-hitungan melihat latar belakang pendidikan kayaknya jauh api dari panggang. Saya juga pernah menjadi mekanik di sebuah bengkel, haa kacau yah. Ya! Pernah belajar otomotif melalui sebuah kursus, pernah juga kursus mebel.

    Angin apa yang membawa saya berpetualang dari satu profesi ke profesi lainnya. Ada satu hal yang membuat saya terus mengasah keterampilan diri, saya terlahir bukan dari kalangan berijazah formal. Sementara kita tahu, untuk masuk ke sebuah perusahaan apalagi kantoran haruslah mengandalkan ijazah formal. Wowww! Jadi tukang pil lantai saja harus ijazah SMA sederajat loh! Wkwkkwkwk, lah saya! Eng eng eng jrrrrr.

    Kehidupan dan history yang terlekat dalam benak saya membuat saya mudah berempati dengan yang namanya kemiskinan. Sebenarnya akan lebih banyak lagi cerita yang di sembunyikan. Saya tahu bagaimana rasa mengiba 1 liter beras kepada paman saya untuk makan sekeluarga saat saya masih sekolah dasar, saya tahu rasanya menjajakan es mambo milik orang lain di kelas dan sekolah saya untuk uang jajan, saya tahu bagaimana menjajakan kue ke warung-warung sambil berangkat sekolah dan mengambil uang penjualan pas waktu pulangnya.

    Bahkan saya tahu rasanya di marahi seorang guru karena pucat tidak sarapan namun di tuduh kebanyakan nonton tv. Jangankan tv .. listrik aja rumah kami nggak punya bu pada waktu itu. Saya tertawa jika mengingat itu, namun dengan sekejap terhimpit jika melihat ada orang lain mengalami yang sama.

    Satu hal dari sebuah pengalaman kita bisa belajar, dari pengalaman kita tahu kemana kaki melangkah. Dari pengalaman itulah jika saya melihat dua orang puteri saya, dalam hati bersumpah bahwa mereka tidak akan mengalami apa yang di alami ayahnya. Namun saya ingin mereka tahu, dari mana darah yang mengalir dalam nadi mereka.

    Sekarang saya memiliki keluarga sendiri, istri saya seorang perawat IGD di sebuat rumah sakit pemerintah, dan saya sendiri seorang wiraswasta. Kehidupan saya dan keluarga maupun kedua orang tua sudah lumayan semenjak saya dan abang serta adik saya mampu berdiri sendiri. Dari enam bersaudara semua laki-laki, mungkin itulah keadilan tuhan sehingga memberikan enam putera buat ayah saya. Dan alhamdulillah semuanya sudah berkeluarga dengan masing2 pekerjaan nya.

    Enam bersaudara yang secara formal hanya lulusan SD dan enang saudara yang kemudian berwirausaha sendiri. Terima kasih tuhan... atas anugerah mu. Ada satu angan-angan yang selalu saya dambakan, membangun sesuatu yang bisa memberikan pekerjaan kepada orang lain. Memutus mata rantai kemiskinan yang di alami orang lain. Miskin itu tidak enak, tapi dari sana kita bisa belajar.

    Ada beberapa suara yang ingin saya sampaikan, syukuri kehidupan kalian yang sudah memiliki arah. Manfaatkan kehidupan kalian yang mungkin lebih baik dari orang lain.

    Yuk berbagi cerita !!!
     
    Damar likes this.
Loading...

Share This Page