pengaruh program spiritual building terhadap tingkat stres janda

Discussion in 'Science' started by Siti Khadijah1, Jan 23, 2019.

  1. Siti Khadijah1

    Siti Khadijah1 New Member

    Joined:
    Dec 13, 2018
    Messages:
    2
    Likes Received:
    0
    Trophy Points:
    1
    Seorang ibu rumah tangga janda adalah mereka yang ditinggalkan oleh pasangan hidupnya, baik dikarenakan bercerai maupun dikarenakan meninggal dunia dan masih harus menanggung beban hidup anak-anaknya.

    Satu penelitian menunjukkan bahwa tingkat depresi pada perempuan yang menjadi kepala keluarga dikarenakan meninggalnya pasangan hidup lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang menjadi kepala keluarga dikarenakan perceraian dengan pasangan (Alhadad, 2009). Jacobs (dalam Barlow & Durand, 2006) mengemukakan bahwa frekuensi depresi berat menyusul kematian orang yang dicintai sangat tinggi (sebesar 62%).

    Kematian pasangan hidup menimbulkan krisis dalam kehidupan yang dapat menimbulkan stres. Janda yang ditinggalkan harus belajar untuk menyesuaikan seluruh aspek kehidupannya. Ia juga harus mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul setelah suaminya meninggal. Ia perlu melewati tahap-tahap berkabungnya agar dapat menemukan identitasnya yang baku sebagai janda dan memulai kehidupannya sesuai identitas barunya itu (Sundari, 1993).

    Menurut Wibowo (2006), perbandingan jumlah single parent antara janda dan duda di Indonesia adalah 469:100, artinya jumlah duda yang tidak menikah hanya seperlima dari jumlah janda yang tidak menikah lagi. Oleh sebab itu peneliti memilih janda (bukan duda) untuk menjadi subjek dalam penelititan ini.

    Pangestuti (2010) menyatakan bahwa Orang tua tunggal memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan emosional, terutama depresi, dibandingkan orang tua-orang tua lain yang tidak single. Demikian halnya Ellen L. Lipman dkk (dalam Avison, 1996), menunjukkan bahwa ibu rumah tangga tunggal, berkorelasi dengan peningkatan risiko gangguan afektif dan peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan mental.

    Secara endokrinologis, Selye (dalam Greenberg, 2004) mengemukakan tiga fase mekanisme tejadinya stres yang dikenal dengan istilah General Adaptation Syndrom (GAS), yaitu fase peringatan (alarm stage), fase perlawanan atau adaptasi (stage of resistance and adaptation, dan fase keletihan (stage of exhaustion). Respon fisiologis non-spesifik yang didefinisikan Selye tersebut terdiri atas interaksi antara cabang simpatik sistem saraf otonom dan dua kelenjar, hipofisis dan adrenal.

    Fase peringatan GAS dimulai bila stresor memicu kerja kelenjar pituitary (kelenjar endokrin yang berfungsi melepaskan hormon ke dalam pembuluh darah sebagai bentuk respon informasi yang diterima dari hipotalamus) dan sistem saraf simpatik. Fase perlawanan atau adaptasi dimulai dengan bekerjanya kortisol, hormon adrenal, norepinefrin dan epinefrin. Dan, fase keletihan terjadi jika stres berlanjut atau adaptasi tidak berhasil. Tanda akhir keletihan adalah gangguan respon umum, gagal jantung, dan gagal ginjal, yang menyebabkan kematian.

    Dalam keadaan stres, ACTH (adrenocorticotropic hormone) meningkat. Peningkatan ACTH ini dapat mengaktifkan korteks adrenal untuk mensekresi hormone gluco-cortikoid, terutama kortisol. Kortisol beredar dalam plasma dalam bentuk bebas dan terikat pada protein.

    Dosis kortisol yang sangat tinggi dapat menimbulkan atropi jaringan limfosit dalam timus, limpa dan kelenjar limfe. Kejadian yang membuat stres dan mood (suasana hati) merupakan faktor penting yang dapat memperburuk gejala infeksi diabetes. Oleh karena itu, identifikasi dan penurunan stres secara klinis adalah penting dan aplikatif bagi tenaga medis sebagai upaya pencegahan maupun penanganan penyakit (Greenberg, 2004).

    Dampak stres berikutnya adalah secara psikologis, disampaikan oleh Hayes, Bart, & Weathington (2007) dalam penelitiannya ia menyimpulkan bahwa stres secara signifikan berdampak berkurangnya persepsi prestasi pribadi dan kepuasan hidup. Kepuasan hidup menjadi faktor penting sehingga individu dapat merasa bahagia. Selain itu, gejala pikologis lainnya dari stres adalah gelisah, cemas, depresi, mudah menangis dan mudah marah (Hardjana, 1994).

    Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa aspek spiritualitas dan religiusitas (ritual keagamaan) memiliki sumbangsih positif dalam upaya menurunkan stres, kecemasan, dan depresi. Diantaranya, dilaporkan oleh Yousefi dan Hassanpour (2001), bahwa orang yang membaca al-qur'an secara konsisten, memiliki kecenderungan terhindar dari depresi dari pada yang tidak melakukannya.

    Demikian juga penelitian Purnama (2009). Melaporkan bahwa ada hubungan signifikan antara tingkat kecerdasan spiritual dengan tingkat Stres. Yangarber (2004) menemukan bahwa ketergantungan pada keyakinan agama dapat dikaitkan dengan keterlibatan aktif dalam pemulihan dan penyesuaian psikologis yang positif diantara individu yang mengalami sakit mental.

    Sebuah penelitian oleh Corrigan, McCorkle, Schell, dan Kidder (2003) juga menunjukkan hal serupa. Mereka meneliti 1.824 orang dengan penyakit mental serius dan menunjukkan bahwa baik religiusitas dan spiritualitas memiliki hubungan signifikan dengan kesejahteraan dan kesehatan mental.

    Selain itu, Mohr dan Huguelet (2004) menyimpulkan bahwa religiusitas dan spiritualitas memberikan peran utama dalam merekonstruksi pemulihan diantara penderita kronis skizofrenia. Berkenaan khusus dengan depresi, Baetz , Larson, Marcoux, Bowen, Griffin, (2002) menganalisis data dari besar surve epidemiologi di Kanada dengan jumlah 70.884 responden , dan menemukan bahwa peserta yang lebih sering hadir dalam kegiatan ibadah memiliki gejala depresi lebih sedikit dibandingkan mereka yang tidak hadir.

    Berdasarkan studi literatur menunjukkan bahwa spiritualitas dan kegiatan religius memiliki peran penting dan pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan mental individu.

    Secara fisiologis, membaca Al-Qur’an melibatkan tiga unsur yang langsung berhubungan dengan bekerjanya jantung yaitu: vokalisasi, pendengaran dan pernafasan. Ketiga unsur tersebut berpengaruh langsung terhadap aktivitas serabut saraf vagus bermielin yang berdampak menekan dominasi saraf simpatis (Porges, 2001).

    Porges juga menambahkan bahwa saraf parasimpatis berhubungan dengan kondisi tenang (calm) dan nyaman (shoothing) sehingga membantu proses penyembuhan. Pernafasan lambat yang dikendalikan mengubah fungsi saraf otonom melalui serabut saraf vagus afferent yang menuju ke central cholinergic sistem kemudian mempengaruhi sistem limbik, talamus, korteks serebri (termasuk korteks prefrontal), forebrain reward systems dan hipotalamus. Hal ini menginduksi emosi, kognisi dan kondisi kesadaran (Brown, 2005, Gerbarg, 2007 & Vedamurtachar, 2009 dalam Sofro, 2013).

    Selain pengaruhnya terhadap fisik, suara lantunan al qur'an juga berpengaruh terhadap psikologis individu. Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan diantaranya, oleh Mohammadi (2009) menyampaikan bahwa ada pengaruh yang efektif dari program membaca Al-Quran terhadap penuruan depresi.

    Menurut hasil penelitian Taghiloue (2009) menyimpulkan bahwa. Program belajar bacaan Quran efektif menurunkan stres pada anak-anak dan remaja. Rana dan North (2007) telah melakukan penelitan dengan judul pengaruh lantunan alqur'an yang berirama terhadap depresi (The Effect of Rhythmic Quranic Recitation on Depression).

    Hasil menunjukkan bahwa tingkat depresi menurun di semua tujuh kelompok, tetapi tingkat penurunan yang paling signifikan di antara peserta adalah yang mendengarkan ayat-ayat Alquran. Pysiainen (2004) menemukan bahwa beberapa bentuk agama dapat meringankan tingkat kegelisahan, dan membantu menjaga kesejahteraan psikologis .

    Hasil penelitian yang senada juga telah lebih dulu disampaikan oleh Kazemi, Ansari, dan Karimi (2003), melaporkan bahwa ada efek positif dari suara Quran pada kesehatan mental mahasiswa keperawatan. Menyusul penelitian dari Mahmodiyan (2008), dalam sebuah studi kuasi eksperimentnya menunjukkan bahwa program belajar keterampilan hidup dengan pendekatan Quran efektif dalam mengurangi depresi pada siswa.

    Khatooni (1997), berkesimpulan bahwa suara Quran efektif pada kecemasan pasien rawat inap terutama dalam satuan perawatan intensif. Hasil yang sama juga ditunjukan oleh Yousefi dan Hassanpour (2001). bahwa bacaan al-Qur'an adalah efektif dalam mengurangi kecemasan masyarakat dan depresi. Jahanmiri, Hajipooran, Hashemzadeh (2001), Moghadam, Maghsoodi (2004), dan Mosavi, Jafari, Zargham (1997) juga menyampaikan hal serupa, dalam sebuah studinya melaporkan bahwa ada efek positif dari membaca Al-Quran pada jumlah depresi , kecemasan dan stres .

    Stres juga mempengaruhi sistem imun tubuhh. Dopp, Miller, dan Myers (2000) menyampaikan bahwa peningkatan jumlah sel NK mengikuti stres dihubungkan secara positif dengan respon denyut jantung dan perbedaan individu dalam respons stres jantung pengendali simpatis dihubungkan dengan NK dan respons sitokin proinflamasi ke stres psikologi. Penelitian lain dilakukan oleh Marsland, Herbert. Muldoon. Bachen, Patterson, Cohen, Rabin, & Manuck (1997) juga menunjukkan adanya hubungan antara stres dengam respons imun

    Berdasarkan hasil studi literatur tersebut, akhirnya penelitian ini dilakukan dengan tema tentang bagaimana pengaruh spiritualitas pada seorang janda terhadap tingkat stresnya, mengingat dampak negatif yang diakibatkan oleh stress tidak hanya dialami oleh diri seorang janda saja melainkan juga kepada perkembangan anak-anak yang sedang diasuhnya.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat stres janda yang masih dalam masa berkabung mengalami penurunan dan mengalami perasaan yang lebih positif dari sebelumnya. Seperti lebih optimis, lebih bersemangat hidup, lebih bisa menerima keadaan.
     
Loading...

Share This Page